Kesultanan Pontianak
Kesultanan
Pontianak
Kesultanan
Pontianak adalah sebuah kesultanan
Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
di daerah muara Sungai Kapuas. Ia melakukan dua pernikahan politik di
Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri
dari Kesultanan Banjar. mereka mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan
pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Pendirian
Syarif
Abdurrahman Alkadrie adalah seorang
putra ulama keturunan arab hadramaut dari kerajaan mempaweh . Letak pusat
pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' dan Istana Kadariyah yang
terletak di Pontianak timur.
Masa
Kolonial
Pada
tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin
oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana
kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu Sultan Syarif
Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa
itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima
Belanda untuk bekerjasama.
Pada
tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk
Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian
Pada
tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang,
Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi
Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim,
Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan
kemudianKerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah
Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie
(1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan
Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk
dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan
Istana Kadriyah pada tahun1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan
jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak
tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan
Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie
(1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan
Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri
urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus
merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan
Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya,
Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan
Pontianakpada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan
Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif
Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan
Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi
di Pontianak. Dalam bidangsosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di
Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping
pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang
menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga
mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu
dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri
minyak kelapa di [[Pontianak]. Sementara dalam aspek politik, Sultan
memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik
yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Masa
Pendudukan Jepang
Era
kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara
Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun1942. Pada 24 Januari 1944, karena
dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan
Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan
Barat. Jepang juga melakukan penyiksaan
dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak. Pada 28 Juni 1944,
Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan
kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak.
Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di
Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan
Peristiwa Mandor.
Komentar