Kesultanan Bone
Kesultanan Bone
Pertama
kali Islam sebelum masuk dalam wilayah kerajaan Bone yang dikenal hingga ke
seluruh pelosok nusantara, para ulama Islam lebih awal mengislamkan raja Gowa,
para ulama umumnya datang dari Sumatera, khususnya Aceh, seperti misalnya ulama
ternama Khatib Tunggal. Ulama ini dikenal sebagai ulama pertama yang datang ke
Makassar dan menyebarkan Islam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1606.
Pada tahun 1910 Bone secara
resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng
(1631-644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam
ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan,
serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
Peranan
dalam islamisasi di Bone Arungpone dibantu oleh seorang qadhi yang bernama
Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di kerajaan Bone sekaligus merangkap
jadi qadhi di Soppeng. Syeikh Ismail menjadi guru di tengah-tengah pemikiran
penduduk yang memiliki banyak fungsi, selain fungsi tempat ibadah, termasuk
menjadi sarana pendidikan.
Lambat
laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam proses
islamisasi dikaitkan dengan kegiatan upacara-upacara keislaman dan upacara yang
berhubungan dengan lingkungan hidup. Jadi setiap ada upacara senantiasa
ditempatkan sifat islami yang berdampingan dengan budaya masyarakat Bone dalam
perkembangan selanjutnya nuansa keagamaan semakin bercorak dan diperkuat dengan
masuknya aliran tasawuf dalam prosesi penyiaran Islam.
Dalam
sejarah disebutkan bahwa para raja Bone, mulai dari raja pertama sampai raja
terakhir yang masuk Islam memberikan kesan bahwa masing-masing berbeda dalam
usaha islamisasi dan memahami Islam. Hal ini berkenaan dengan kehadiran dan
perkembangan agama Islam di Bone. Hal ini diwujudkan dalam setiap kebijakan
yang dikeluarkan, kendatipun demikian, sejak agama Islam dikenal luas oleh masyarakat
Bone, hampir semua kebijakan mempunyai muatan-muatan Islam, termasuk dalam
aspek pendidikan ajaran agama Islam, pemerintah Bone banyak memberikan dukungan
sampai pada masa pemerintahan raja terakhir Haji Andi Mappanyukki.
Pada
masa raja yang terakhir ini, kehidupan sosial keagamaan meningkat, komitmen
terhadap ajaran Islam diwujudkan dengan kepedulian menerapkan nilai-nilai
keagamaan bagi masyarakat Bugis Bone. Selain itu juga dibarengi dengan sikap
keteladanan yang ditunjukkan, beliau dikenal sangat taat dalam menjalankan syariat
Islam.
Perpaduan
yang harmonis antara ulama dan umara membawa angin segar bagi penegakan
perkembangan syariat Islam di Bone, pemerintah memberikan kemenangan pada
ulama, dalam bidang keagamaan, sehingga keduanya mampu berjalan beriringan
dengan semboyan: Riappaketenningi Ade’e pattupui ri sara’e) artinya adat tempat
berpegang dan sara’ tempat saudaranya.
Sejak
masa itu peran ulama tidak hanya tergabung dalam organisasi qadhi, tetapi
banyak di antara mereka melakukan aktivitas keagamaan di luar dari kordinasi
organisasi formal. Para ulama lebih banyak memberikan pengajaran agama di
masyarakat, termasuk yang dilakukan di tempat-tempat ibadah.
Perhatian
yang besar dari pemerintah dengan memberikan dukungan atas kegiatan pertemuan
oleh para ulama yang dihadiri 26 orang ulama dari segenap daerah di Sulawesi
Selatan, yang dipimpin oleh KH. Abdullah Dahlan. Dalam pertemuan tersebut para
ulama merekomendasikan beberapa gagasan penting yang diusulkan oleh KH.
Muhammad As’ad, antara lain:
Mengembangkan pendidikan Islam melalui
madrasah diniyah di samping melanjutkan usaha para ulama yang masih ada dengan
sistem tradisional. Madrasah mendapat dana pengembangannya dari sumber-sumber
zakat fitrah dan kontribusi dari masyarakat. Madrasah bebas dari segenap aliran
politik, tidak menekankan pada satu aliran mazhab.
Madrasah
yang berkembang dapat membuka cabang-cabangnya dimana saja, atas permintaan
masyarakat. Para ulama menghindari sejauh mungkin persengketaan dalam perkara
khilafiyah.
Komentar